Kabupaten Literasi dan Nasib Anak-anak Pegunungan

Foto: Beberapa Siswa Asal Mangge
Pagi ini (16 Agustus 2019) pukul 09.00 saya dengan beberapa rekan pengajar akan menyambangi suatu tempat yang jarak tempuhnya lumayan jauh.  Suatu tempat yang sebagian besar jalanannya hanya di Aspal kasar bahkan banyak yang berlubang. Ia, Dia adalah Mangge. Seperti namanya, nasibnya juga asam bahkan kecut. Namun, mereka tetap bersyukur setidaknya mereka punya akses yang mudah jika ingin menuju ke ibu-kota kabupaten.
Sudah masuk musim kemarau, sepanjang perjalanan menujunya biasanya dilewati dengan suasana dingin karena hutan yang masih rimbun. Kali ini tidak, panas yang menyengat menambah hitam kulit yang sudah hitam. Melewati Dam Sumi atau akrab dengan sebutan Diwu Moro yang masih menyuguhkan pemandangan indahnya, menjadi pengobat jauhnya perjalanan dan panasnya kemarau. Jalan berkelok dengan beberapa jurang di samping kiri dan kanannya membuat kami harus tetap berkendara dengan hati-hati.
Sampailah kami di desa Mangge bagian timur atau Mangge Do, memasuki perkampungan dan langsung menuju beberapa rumah siswa satu demi satu. Kali ini saya benar-benar melihat Mangge,  karena sebelumnya hanya melewatinya saja. Saya memerhatikan, mengamati suasana Mangge. Terlihat ibu-ibu yang sedang memintal benang dan beberapa gadis tengah asyik memainkan “Lira” di tangannya. Salah dua dari penenun adalah siswi kami. Keduanya tidak lagi bersekolah, terpaksa mereka harus menggantungkan cita-citanya, menyimpan sedalam mungkin sebab orangtua tidak lagi mengijinkan.
Kami membujuk, memohon kepada para orangtua agar mau melepas anak gadisnya untuk melanjutkan sekolahnya.  Kami hanya bisa berusaha, keputusan tetap ada di tangan orangtua mereka. Para orangtua tetap kekeh, takut dengan pergaulan anak-anaknya.  Pahit sekali menjadi mereka. Segala kebutuhan untuk diperantauan nanti sudah mereka persiapkan, tapi nampaknya keinginan mereka harus dikubur sedalam mungkin. Lagi, orangtua tetap tidak mau melepas buah hatinya.
Kendala lain yang harus mereka hadapi adalah masalah trasportasi. Beberapa dari mereka tidak memiliki kendaraan,  mereka hanya menaruh harapan pada temannya yang memiliki sepeda motor, mengharap tumpangan setiap kali waktu sekolah. Naas-nya, acap kali mereka terpaksa harus meninggalkan sekolahnya karena temannya yang memiliki sepeda motor tidak ke sekolah. Kasus yang tidak jauh berbeda terjadi di dataran tinggi Nggelu. Beberapa orang anak yang masih ingin melanjutkan pendidikannya harus berpeluh untuk mendapatkan seragam sekolah. Tidak hanya sampai di situ, tantangan yang harus mereka hadapi ialah lagi-lagi izin orangtua. Beberapa antaranya pula harus mengubur harapannya karena jarak sekolah yang amat jauh.
Kami tetap saja membujuk mereka, berharap kepada orangtua mereka untuk nasib anak-anaknnya. Walau hasilnya tetap sama yaitu sebuah penolakan, dibentak dan bahkan diusir. Esok adalah hari memeringati kemerdekaan negara tercinta Republik Indonesia. Saya biasanya selalu setia duduk khusu’ di depan televisi, setiap kali 17 Agustus menonton dengan khidmat  prosesi upaca bendera. Saya harus menyudahinya, “kemerdekaan adalah hak segala kepala”. Saya bersyukur berada pada jalan ini, semoga kamu juga. Berbahagialah kamu, kita dan mereka yang peduli pada nasib kemanusiaan.

Penulis: Nabil Agus M

Komentar