Asal-Usul: Nggeya dan Penangkalnya dalam Cerita Rakyat Mbojo


Asal-Usul Nggeya
Pada suatu hari hiduplah seorang Guru dan para muridnya. Suatu ketika sang guru memerintahkan muridnya yang lain untuk membunuh salah seorang muridnya yang bernama La Kio. La Kio adalah murid yang pintar, ia mampu melampaui kesaktian gurunya. Karena kesaktiannya, La Kio ingin dibunuh oleh Gurunya. Sehingga, sang Guru memerintahkan murid-muridnya yang lain untuk menghabisi nyawa La Kio di sebuah gunung yang bernama Pucu Lino. Maka, dibunuhlah La Kio di gunung tersebut dan membakarnya. Di tengah pembakaran itu, mereka mecium aroma darah La Kio yang begitu enak dan menggiurkan, diminumlah darah La Kio oleh mereka. Sepulang dari gunung Pucu Lino, mereka melaporkan kepada guru mereka bahwa La Kio telah dibunuh dan tidak lupa mereka juga mengatakan tentang enaknya darah La Kio. Akhirnya sang Guru ikut menyantap darah La Kio. 

Selang beberapa hari, datanglah Ibu-nya La Kio. Sang Ibu mendatangi kediaman sang Guru dan menanyakan keberadaan anaknya. 
"Na wa'udu raho wekina malao tiyo nggomi", jawab sang guru. 
"watipu gurue, watipu dulana di umana", timpa Ibu La Kio. 
"Ai ana Kioe....!" Sambung ibunya menyayangkan anaknya yang entah kemana. 
Sesaat kemudian muncul-lah jawaban dalam perut sang guru.
"Iyo Inae....!".

Terkejut mendengar suara dalam perut sang guru, Ibu la Kio pun berkata,
"Ta wa'u mpudu ngaha weya pala ana lamada". 
Begitulah asal-muasal Nggeya dalam cerita turun-temurun masyarakat Mbojo zaman dahulu. 

Cara Melihat dan Mengenali Kedatangannya
Ada beberapa syarat yanng harus dipenuhi untuk dapat melihat dan mengenali kedatangan mereka (Nggeya). 
1. Ta ndawiku oha ma upa mbua warna ededu Ma Bura, Ma Kala, Ma Me'e labo Ma Monca.
2. Ta wehaku kalubu dei mada riha ta baca weyaku salawa pidu kali ma labo mama sa liri.
3. Ampo ta wehaku ro'o ntana labo ro'o wunta keta mangga salelana. 
4. Miro Jopu di lambo kayi. 

Setelah syarat-syarat di atas telah terpenuhi, maka syarat-syarat tersebut diletakkan di atas kepala orang yang terkena Nggeya. Caranya yaitu dengan menggelar ro'o ntana dan ro'o wunta keta, kemudian letakkan nasi empat warna di atas ro'o yang telah digelar. Selanjutnya ditutup dengan batok kelapa bagian matanya atau kerucutnya dan diduduki. Lalu peganng rotan (miro) yang telah disediakan dan tunggu kedatangan Nggeya.

Ada tiga waktu untuk mengetahui kedatangan Nggeya. Pertama, tampu'u kai ku wa'u boe magari. Artinya waktu yang pertama adalah setelah waktu Maghrib. Kedua, ededu ai ma boha atau wunga boha ai. Artinya ia juga datang di waktu tengah malam. Ketiga, na mai kaiku wakatu subu atau ai ma subu. Artinya Nggeya juga bisa datang di waktu Subuh. 

Nggeya datang dalam empat rupa atau wujud yakni wawi (babi), lako (anjing), ngao (kucing) dan janga (ayam). Batok kelapa yang kita duduki, terlebih dahulu diberi kain putih (malanta) di atasnya. Jika terlihat kedatangannya, maka seseorang yang sedang duduk di atas batok harus mundur sedikit dan menabur abu sisa pembakaran dan nasi. Barulah Nggeya yang datang itu dipukul.

Patula Nggeya
  1. Sediakan telur ayam kampung tujuh butir, satu butir diberikan kepada orang yang terkena Nggeya untuk diminum (pisahkan putih telurnya). Kuning telur diminum langsunng dari cangkangnya dan diberi sisa. 
  2. Sisa kuning telur dimasak bersama beras, adapun berasnya adalah fare na'e, fare monca, fare keta me'e, labo fare keta kala. Kemudian diletakkan di pinggir/belakang kampung (kontu rasa) bersama telur enam butir. 
  3. Telur enam butir bersama nasi yang dialasi dengan ro'o ntana dan lilin sepanjang dua jari. Dua butir telur dan nasi yang dialas menggunakan ro'o ntana diletakkan dibagian barat desa bersama lilin tersebut yang dinyalakan. Dibagian selatan, satu butir telur, segenggam nasi yang dialasi ro'o ntana dan lilin sepanjang satu jari. Disebelah timur, dua butir telur dengan nasi dua genggam dialasi ro'o ntana serta lilin sepanjang dua jari dinyalakan dan dialasi ro'o ntana. Dibagian utara, satu butir telur, segenggam nasi dialasi ro'o ntana, lilin sejari panjangnya dan dinyalakan. 
Adapun waktu untuk meletakkannya yaitu hari jum'at, kamis dan senin. 

J. C. G. Jonker. 1894. Bimaneesche Texten. 

Komentar