Mari Memercayai Takhayul! (Sebuah Warisan Berpikir)



Jika disebut kata takhayul, maka yang muncul dalam benak seseorang adalah sesuatu yang tidak masuk akal, tidak percaya terhadap Tuhan, bahkan dianggap sesuatu yang bid’ah. Takhayul dalam kehidupan masyarakat Indonesia hari ini tidak lebih sebagai kebiasan atau tradisi lama yang menyesatkan, tidak berpendidikan dan tentu saja menurut “mereka” syirik. Begitulah keyataannya. Orang-orang yang masih menerapkan atau menjalankan tradisi demikian akan dianggap menyimpang dari ajaran agama. Mereka menutup sama sekali takhayul dan tidak tersedia tempat baginya.

Sebelum lebih lanjut, alangkah eloknya kita mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan takhayul. Takhayul yang juga dikenal dengan Pamali adalah suatu  pantangan, sebuah larangan atau sesuatu yang dianggap tabu. Pamali merupakan suatu pernyataan yang memiliki nilai tertentu. Menurut orang berpendidikan barat, takhayul adalah kepercayaan sederhana bahkan pandir, tidak berdasarka logika, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan (Danandjaja, 1984:163). Akankah kita ikut dalam pemahaman demikian? Tentu saja jawabannya tidak. Dan mari kita mempelajarinya!



Takhayul atau pamali, dalam kehidupan masyarakat Bima dikenal dengan nggahi ti pehe/wati pehe yang artinya pantangan atau suatu perbuatan yang tidak baik untuk dilakukan. Nggahi ti pehe tidak begitu saja dimunculkan atau disebarkan dalam kehidupan masyarakat Bima. Nggahi ti pehe bisa dikatakan muncul karena berbagai hal, salah satunya bisa saja muncul karena masalah sosial atau semacamnya, sehingga membuat nenek moyang kita berpikir dan mencari  formula untuk menghadapi masalah-masalah yang sedang mereka hadapi. Artinya, nggahi ti pehe tidak muncul begitu saja atau bukan dengan sendirinya hadir ditengah-tengah masyarakat Bimma, melainkan ada proses pikir yang tidak singkat oleh moyang-moyang dahulu yang mengiringinya hingga dikenal sampai hari ini.

Nggahi ti pehe mengandung nilai pendidikan moral, di dalamnya terdapat norma-norma kehidupan sebagai sistem proteksi diri bagi setiap masyarakat Bima. Setiap nggahi ti pehe  memiliki fungsinya masing-masing. Berikut ini kita akan sama-sama berpikir mengenai fungsi dan makna nggahi ti pehe.

“Wati pehe maru epa loko roci kai made ina (Tidak baik tidur dengan posisi tengkurap, akan mempercepat kematian ibu)

Kalimat di atas berfungsi sebagai larangan agar anak atau kita tidak tidur dengan posisi tengkurap. Nabi melarang tidur dengan posisi demikian, karena akan berdampak buruk bagi kesehatan. Ada nilai moral agama yang disampaikan secara tidak langsung dalam nggahi ti pehedi atas. Para leluhur kita, melalui salah satu nggahi ti pehe ini menginginkan kita sebagai Dou Mbojo supaya menjadi orang-orang yang mengamalkan nilai-nilai agama, mengamalkan segala yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW.

“Wati pehe nda’u sangadi mbuda kai (Tidak baik menjadit di malam hari, nanti bisa mengalami kebutaan)

Secara eksplisit kalimat di atas sangat tidak logis. Bagaimana mungkin, hanya karena menjahit di malam hari akan membuat kebutaan bagi yang melakukannya? Tapi, jika kita mau menyelami makna di balik kalimat tersebut, maka  kita akan menemukan bahwa kondisi orang jaman dulu tidaklah sama dengan kondisi kita hari ini. Dimana penerangan masih hanya mengandalkan lampu petak atau lampu minyak atau bahkan tidak ada sama sekali. Akan sangat berbahanya jika melakukan kegiatam menjahit di malam hari, tidak hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi orang lain. Jarum jahit adalah benda yang sangat tajam, ditakutkan dalam keadaan kurangnya penerangan, si pelaku secara tidak sengaja dapat melukai tangan dan bahkan matanya dan atau mata orang lain.  

Disamping itu, pesan moral yang ingin disampaikan melalui nggahi ti pehe tersebut supaya masyarakat Bima disiplin dalam melaksanakan suatu kegiatan. Masyarakat Bima diharapkan mampu membagi waktu sebaik-baiknya dan melakukan sesuatu sesuai dengan keadaannya.

Dua contoh kalimat di atas kiranya sudah cukup sebagai modal awal kita untuk berpikir lebih jauh untuk mau mendalami, memahami atau memaknai takhayul dalam arti yang sebanarnya. Nggahi ti pehe adalah salah satu tradisi lisan warisan nenek moyang kita, sebagai alat proteksi diri supaya kita mampu menjaga dan merawat diri kita sendiri, orang lain dan lingkungan alam sekitar. Tradisi lisan yang mengandung nasihat ini perlu untuk dipelajari oleh para guru, diajarkan dan dilestarikan. Sesuatu yang berharga perlu untuk kita perjuangkan.

Penulis: Nabil Agus M

Komentar