Tradisi Ta'aruf Ala Pemuda Bima Zaman Dahulu

Foto Koleksi Pribadi



Membahas Mbojo tidak akan pernah ada habisnya. Ada saja bahan untuk berceritera tentangnya. Seolah mata air yang terus menerus mengalir tanpa hentinya. Begitu banyak bahasannya. Kali ini saya dibuat tercengang dengan kalimat-kalimat yang begitu tinggi yang agak sukar untuk diterjemahkan atau sangat tinggi tingkatnya. Dan tentunya kalimat-kalimat ini memiliki makna yang begitu berharga. Ada nilai yang sangat khas dan begitu berharga bagi kehidupan kolektif kita.

Cerita atau dongeng (mpama) yang hidup atau pernah hidup dalam masyarakat Mbojo adalah suatu kepunyaan berharga yang harus tetap dilestarikan, diceritakan, dan dituturkan kepada generasi saat ini. Menurut saya, andil sastra daerah terhadap perkembangan karakter dan moral merupakan satu alat yang sangat signifikan untuk menumbuhkan dua hal tersebut. Namun, pada kenyataannya perhatian pemerintah atau instansi terkait terhadap sastra daerah seperti mpama ini kurang menjadi perhatian. Padahal kalau kita lihat di daerah lain, bahasa dan sastra daerah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sekolah. Bahkan perguruan tinggi punya kurikulum tentang hal tersebut. Melalui mpama kita juga dapat mengetahui tradisi-tradisi massa lampau bahkan sejarah yang pernah berlangsung.

Ada satu atau dua hal tentang mpama ini yang membuat saya tertarik untuk mengulasnya. Yaitu tradisi pacaran orang Mbojo zaman dahulu dan bahasa-bahasa yang begitu sopan antar sesama manusia dalam kehidupan masyarakat Mbojo. Beberapa cerita atau mpama menyinggung tentang bagaimana orang Mbojo zaman dahulu pacaran atau cara untuk mencari pendamping yang tepat.


Nge’e Nuru (Pacaran Ala Dou Mbojo)


Dalam cerita atau mpama yang bertajuk  mpama la sampula dan mpama reana labo ridonamenceritakan prosesi atau tahapan yang dilakukan oleh seorang laki-laki untuk bisa menikahi wanita yang ia kehendaki. Untuk merealisasikan keinginan tersebut sang laki-laki harus menunjuk seseorang yang dipercayainya untuk menyampaikan maksudnya kepada pihak wanita. Seseorang yang dipercayai untuk melakukan hal tersebut disebut panati/ompu panati. Prosesi Panati bisa langsung dilakukan oleh orangtua atau orang lain yang dikehendaki.

Selanjutnya, seorang yang diutus untuk menjadi panati melakukan tugasnya, yakni menghadap orangtua si wanita untuk mengutarakan maksud dan tujuannya meminang anak gadisnya. Pada tahap ini orangtua dari si wanita tidak langsung menerima pinangan untuk langsung pada jenjang pernikahan melainkan hanya menerima panati. Setelah diterima, si laki-laki akan tinggal di rumah si wanita yang menjadi pilihannya. Prosesi ini dinamakan ngge'e nuru yaitu laki-laki tinggal bersama orangtua wanita dan membantu segala pekerjaaan rumah calon mertuanya. Orangtua waniita atau calon mertua dalam nggahi Mbojo disebut reana katari/riana katari

Nge’e nuru 
adalah cara kedua pihak baik rido katari (calon menantu) maupun reana katari untuk saling mengenal satu sama lain. Ditahap ini keduanya akan saling menilai, apakah mereka saling cocok atau tidak. Cocok dalam hal perangai, tabi’at, rajin atau tidak, dan sebagainya. Dari hal-hal itu, orangtua si wanita akan menentukkan apakah rido katari-nya cocok menjadi pendamping/suami dari anaknya.

Tradisi ini merupakan sesuatu yang baik. Dimana kedua pihak saling terjaga dari sesuatu hal yang tidak diinginkan. Bahkan dalam kedua mpama tersebut dijelaskan secara tidak langsung, antara laki-laki dan perempuan (walau sudah tinggal serumah) tidak diperkenankan untuk bertemu. Kalaupun bertemu itu karena ketidak sengajaan. Pacaran yang dimaksud dalam cerita ini adalah bagaimana usaha seorang laki-laki yang menginginkan seorang isteri, bisa mengambil hati orangtua si wanita atau calon mertuanya. Kegigihan dan ketekunan akan membawa, akan dipertemukan dengan yang serupa pula.


Nggahi Mbojo dan Penghargaan Tertinggi


Kita sebagai pemilik Nggahi Mbojo memang harus bangga akan keberadaan bahasa ini. Yang memiliki keuniikan-keunikan tersendiri. Ada beberapa penggal kalimat unik yang terdapat dalam cerita atau mpama yang berjudul Mpama La Sampula. Kalimat ini adalah dialog tokoh dalam cerita tersebut. Dialog antara ibu si Sampula dengan orangtua wanita pilihannya dalam rangka prosesi panati. Berikut ini dialog antar tokoh.


“Ausi haba wa’a ita  wa’i? Wara kaita mai ara ake?” sodi ao kai na wa’i ba ina ana dou siwe ede.(ada kabar apakah gerangan hingga ibu la Sampula berkenan mampir ke kediaman kami? Tanya ibu sang gadis.)


“Io ngge’e ada wa’i ro ompu! Mboto-mboto kangampu ita kaso doho. Ando kapo mai la mada ededu nemba mboto-mboto na adata la Sampula di ita doho, ne’e to’i mai cafi wombo, kili kafa mama’u, tuwu ndau mpoka di ana siwe ita doho,” cambe ba ina la Sampula. (Ia. Mohon maaf yang setinggi-tingginya kepada ibu dan bapak yang mulia. Adapun maksud kedatangan saya ke sini tidak lain dan tidak bukan ingin menghantarkan niat baik anak kami untuk meminang anak gadis ibu dan bapak. Jawab ibu la Sampula.)


Sebagai orang yang menginginkan sesuatu kepada orang lain, ibu si Sampula mengutarakan maksud dan tujuannya dengan tutur kata dan bahasa yang sangat santun, merendah semata-mata untuk diterimanya pinangan atas anak gadis orang tersebut. mai cafi wombo, kili kafa mama’u, tuwu ndau mpoka, adalah bentuk pengharapan kepada kedua orangtua sang gadis atas pinangannya.


“Taho wekina. Ndontadu bune santika la Sampula, wali lako sadompo, ro wawi satobe, na mai tiri weasi tada umaku, ededu ru’una ana siweku,” cambe ba ina ana dou siwe ede. (Dengan senang hati. Jangankan seorang seperti la Sampula, jika yang datang ke rumah kami berwujud setengah anjing dan setengah babi, itulah jodoh untuk anak gadis kami. Jawab ibu sang gadis itu.)


Begitu pula dengan orangtua sang gadis, tidak kalah penghargaannya terhadap tamu tersebut. Bahwa ia tidak memilih dengan siapa anaknya akan berumah tangga. Tidak menandang status si Sampula, dari keluarga mana, bagaimana rupanya dan apa yang dipunyainya. Menghargai niat baik orang lain adalah sikap yang terpuji.


Dari percakapan diatas, bisa dilihat bahwa betapa sebuah penghargaan tertinggi dapat terungkap melalui tutur kata dan bahasa. Ada nilai saling menghargai, rendah hati, tidak sombong, dan sebagainya. Nilai-nilai semacam ini sangat dibutuhkan oleh generasi saat ini. Pembentukkan karakter sedini mungkin adalah cara meminimalisir tindakan amoral yang sedang terjadi hari ini.


Wallahualam....



Komentar