Analisis Struktur Budaya dalam tradisi Lisan Ti Pehe (Pamali) pada Masyarakat Bima (Tiinjauan Semiotika)

Gambar Koleksi Pribadi

ANALISIS STRUKTUR BUDAYA DALAM TRADISI LISAN TI PEHE (PAMALI) PADA MASYARAKAT BIMA (TINJAUAN SEMIOTIKA)
Agus Mulyadin
201210080311063
Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakulttas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Malang


Abstrak:
            Tradisi lisan ti pehe atau pamali Bima merupakan pesan atau kesaksian yang disampaikan melalui kegiatan sehari-hari, baik dalam sosial maupun rumahtangga. Tradisi lisan ti pehe adalah alat untuk mengontrol tingkah laku masyarakat Bima. Penerapannya yang mulai hilang berdampak pada turunnya nilai moral dalam mayarakat  Bima, hal ini ditandai dengan banyaknya kejadian dan peristiwa kejahatan dan semacamnya dalam sosial masyarakat Bima. Sebagai jawaban atas masalaah yang timbul saat ini, tradisi lisan ti pehe muncul kembali sebagai salah satu solusi penetaan kembali moralitas masyarakat tersebut. Perlu adanya penelitian yang mengangkat dan mengungkap simbol-simbol yang terdapat atau terkandung dalam tradisi lisan ti pehe Bima. Karena dalam tradisi lisan ini memilikki makna yang belum diketahui oleh penuturnya saat ini.
            Penelitian ini adalah upaya untuk mengangkat budaya dan kearifan lokal masyarakat Bima, melalui penelitiaan ini akan terungkap nilai-nilai kebudayaan dan nilai-nilai tradisional dalam tradisi lisan iti pehe. Penelitian ini pula sebagai inventarisasi pamali Bima, karena perhatian pemerintah akan kelestarian tradisi ini sangat kurang. Sehingga masyarakat, lama kelamaan akan melupakan tradisi lisan ini. Ada tiga hal yang ingin ditampilkan dalam penelitian ini sesuai dengan topiknya , 1) bentuk simbol, 2) fungsi simbol dan 3) makna simbol. Adapun metode yanng digunakan dalam penellitian ini yakni menggunakan pendekatan kualitatif untuk mennjelaskan fenomena secara lengkap dan menyeluruh melalui pengumpulan data yang selengkap-lengkapnya.
Kata Kunci: tradisi lisan, ti pehe, pamali, simbol.

Pendahuluan
Budaya ti pehe atau tradisi lisan ti pehe dalam kehidupan masyarakat Bima sangat beragam mulai dari perkara biasa atau hal kecil sampai pada perihal yang lebih serius. Perihal memotong kuku misalanya, biasanya para orangtua ketika mendapati anaknya yang melakukan kegiatan potong kuku dimalam hari, maka orangtua akan berkata “ti pehe dompo uhu ai mangadi, made kai” artinya “tidak baik memotong kuku dimalam hari, akan menyebabkan kematian”. Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, orangtua mencoba menggambarkan keadaan pada masanya, masa itu belum ada teknologi, masa sebelum teknologi yang begitu canggih seperti saat ini. Masyarakat Bima biasa melakukan kegiatan memotong kuku dengan benda-benda tajam seperti silet, parang atau sejenis benda tajam lainnya, sehingga akan sangat berbahaya jika dilakukan dengan benda tajam dalam keadaan gelap. Kemudian, perkara tidur atau bangun tidur. Jika seorang anak telat bagun tidur dipagi hari atau ketika orangtua membangunkan anaknya, mereka akan berkata “tu’ura! ti pehe maru sa ese liro, na pitaku ba wawi” artinya “bangunlah! Tidak baik tidur hingga siang hari, nanti akan ditindih oleh babi” disini orangtua mengambil kata babi sebagai simbol, bahwa jika seseorang tidur hingga waktu siang hari, maka diumpamakan sebagai babi. Babi tidur diwaktu siang hari dan mencari makan dimalam hari dan babi adalah contoh gambaran pemalas.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti sastra lisan ti pehe atau budaya Pamali masyarakat Bima dengan mempertimbangkan beberapa alansan sebagai berikut. Pertama, sebuah upaya untuk meneliti budaya dan kearifan lokal masyarakat Bima. Kedua, melalui penelitian ini akan terungkap nilai-nilai kebudayaan atau nilai-nilai tradisional dalam sastra lisan ti pehe untuk diketahui yang tidak kalah penting dibandingkan nilai-nilai global.  Ketiga, perhatian atau apresiasi masyarakat Bima terhadap budaya ti pehe sangat kurang dikarenakan pemahaman yang masih kurang pula. Sehingga dengan adanya penelitian ini, masyarakat tahu akan pentingnya kebudayaan asli dari budaya ti pehe itu sendiri. Keempat, perlu adanya inventarisasi terhadap sastra lisan atau budaya ti pehe sebagai upaya pemertahanan sebuah kebudayaan.  Kelima, salah satu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwah sastra lisan atau tradisi lisan Bima telah mendapat perhatian dari sejumlah peneliti.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali bentuk simbol yang ada dalam tradisi lisan ti pehe Bima, fungsi simbol dalam tradisi lisan ti pehe Bima dan makna simbol dalam tradisi lisan ti pehe Bima.
Hakikat Pamali
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, secara umum kata pamali atau pemali berarti larangan, pantangan atau tabu berdasarkan adat dan kebiasaan. Tabu adalah sesuatu yang dilarang atau sesuatu yang disucikan (tidak boleh disentuh, diucapkan) pantangan, larangan. Adapun arti pantangan adalah perbuatan yang terlarang menurut adat. Kata Pamali berasal dari bahasa sunda, mempunyai makna sama dengan kata pantrang dan cadu (sepadan artinya dengan kata pantang atau tabu) dan tergolong ke dalam ungkapan tradisional, yang artinya pantangan atau larangan tentang suatu tindakan yang dilakukan sehari-hari yang apabila pantangan tersebut dilakukan, maka dianggap dapat mendatangkan kesialan dan biasanya berhubungan dengan masalah kesehatan, keselamatan, jodoh, rezeki, keturunan, dan lain sebagainya Hutari (dalam Zulfah dan Juhriyansyah, 2012: 1055).
Selain itu kata pamali sering dikaitkan dengan kata mitos dan adat yang berasal dari Bahasa Arab. Kata adat dipergunakan untuk menghaluskan perbuatan, perlakuan, yang membuat kebaikan dengan orang lain, yang sama adatnya dan tata cara pada umumnya (Mulkan, 2008). Dari beberapa pendapat mengenai pengertian pamali dapat disimpulkan bahwa pamali adalah suatu bentuk budaya lisan yang termasuk kepada jenis budaya lisan digunakan untuk mengatur perilaku masyarakat dengan larangan dan pantangan yang  didalamnya mengandung adat terdahulu. Menurut Ismail pamali berarti “pantangan, larangan, tabu”. Dalam hal ini, pamali merupakan pernyataan rakyat yang mengandung nilai tertentu. Pernyataan ini bersifat dogmatis dan diyakini benar oleh masyarakat Bima.
Pamali sebagai salah satu folklore lisan daerah signifikan untuk dilestarikan sebagai aset daerah karena mengandung fungsi tertentu sekaligus refleksi atau mencerminkan salah satu sisi budaya yang dimiliki masyarakat daerah tersebut. Sebagaimana pendapat Bascom dalam Danandjaja (1984:32) fungsi folklore lisan pada umumnya memiliki fungsi sebagai sistem proyeksi, alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga sosial kebudayaan, alat pendidikan anak dan masyarakat, alat pemaksa dan pengawas norma masyarakat agar selalu dipatuhi.
Jenis Pamali
Dalam rangka mempermudah analisis atau penelaahan maka perlu diketahui kategori atau kelompok pamali sesuai jenis atau kelompoknya. Eyland D. Hand (dalam Danandjaja, 1984:155) membagi atau mengkategorikan pamali dalam berbagai hal sebagai berikut;
a.      Lingkungan hidup manusia, ada tujuh kategori yaitu;
1.      Lahir, masa bayi, dan masa kanak-kanak, yaitu kepercayaan rakyat (pamali) yang mempercayai bahwa segala sesuatunya berpengaruh terhadap hidupnya. Misalnya seperti wanita hamil dianjurkan untuk melihat yang bagus-bagus agar anaknya lahir dalam keadaan bagus pula.
2.      Tubuh mausia dan obat-obatan seperti memegang kepala orang lain dianggap tabu.
3.      Rumah dan pekerjaan rumah tangga, seperti posisi rumah dapat berpengaruh terhadap kebahagiaan penghuninya.
4.      Mata pencaharian dan hubungan sosial, seperti kepercayaan jika ada tamu yang erlalu lama bertamu dan tidak mau pulang, maka dapat dipaksa pergi dengan cara (tersembunyi) membawa sebuah alat ulegan untuk menguleg cabai atau bumbu masak lainnya di hadapannya.
5.      Perjalanan dan hubungan seperti melihat ular dalam perjalanan pertanda nasib kurang berutung.
6.      Cinta, pacaran, perkawinan, seperti cinta itu dapat ditimbulkan oleh ilmu gaib (magis)
7.      Kematian dan alat pemakaman, seperti di Bali Trungan bahwa pemuda yang mati tidak perlu dilakukan upacara tahap kedua karena rohnya dianggap masi suci.
b.      Alam gaib, kepercayaan terhadap para dewa, roh-roh, makhluk-makhluk gaib, kekutan sakti dan alam gaib.
c.       Terciptanya alam semesta dan dunia, antara lain;
1.      Fenomena kosmik
2.      Cuaca
3.      Binatang dan peternakan
4.      Penangkapan ikan dan berburu
5.      Tanam-tanaman dan berburu
d.      Jenis yang lainnya.

Struktur
Tradisi lisan ti pehe tentunya memilii struktur, hal tersebut sejalan dengan pendapat Alan Dundes (dalam Danandjaja, 1984: 155) yang digunakan untuk menganalisis atau menelaah tradisi lisan ti pehe ini bahwa takhayul adalah ungkapan tradisional yang terdiri atas satu atau lebih syarat, dan satu atau lebih akibat; beberapa dari syarat-syaratnya bersifat tanda, sedangkan yang lainnya bersifat sebab. Di dalam pamali terdiri dari dua bagian yaitu sebab dan akibat. Lebih lanjut (Danandjaja, 1984: 154) mengatakan struktur pamali juda terdiri atas 3 bagian yaitu tanda, konversi (perubahan dari satu keadaan ke keadaan yang lain), dan akibat. Atau dapat juga strukturnya berubah menjadi tanda, akibat, dan konversi.




Fungsi
Ada beberapa fungsi pamali menurut Danandjaja, bahwa pamali atau takhayul berfungsi sebagai:
a.    Penebal emosi keagamaan atau kepercayaan,
b.    Sistem proyeksi khayalan suatu kolektif yang bersal dari halusinasi seseorang yang sedang mengalami gangguan jiwa,
c.    Alat pendidikan bagi anak atau remaja,
d.   Penjelasan bagi suatu folk terhadap gejala alam yang sukar dipahami sehingga sangat menakutkan, agar dapat diusahakan penanggulanagan,
e.    Penghibur orang yang sedang mengalami musibah (Danandjaja, 1984: 169).

Hakikat Simbol
Kata simbol berasal dari bahasa Yunani symbolos, berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Simbol merupakan hal yang sangat perlu dipelajari, karena simbol disetiap daerah bisa saja berubah-ubah sesuai dengan konvensi tempat simbol yang dikaji. Sejalan dengan hal tersebut Peirce mengatakan “Simbol adalah sebuah cara yang menandakan tidak menyerupai dengan yang ditandai tetapi secara fundamental berubah-berubah atau semata-mata hanya konvensional belaka, jadi hubungannya itu harus dipelajari atau dipahami. Contohnya bahasa dalam pengertian umum  (spesifikasi bahasa, huruf alfabet, tanda baca, kata, frase dan kalimat). Nomor, kode, lampu lalu lintas, bendera nasional.” Symbol/symbolik: a mode in which the signifier does ‘not’ resemble the signified but which is fundamentally ‘arbitrary’ or purely conventional-so that the relationship must be learned: e. g. language in general (plus specific languages, alphabetical letters, punctuation marks, words, phrases and sentences), numbers, morse code, traffic light, national flags (Charles Sanders Pierce in Chandler, 2002:36).
Tradisi lisan ti pehe adalah cara masyarakat etnik Bima menerapkan norma-norma atau aturan-aturan, sehingga dalam penerapan aturan-aturannya masyarakat etnik Bima merasa perlu untuk menyampaikan tradisi tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Peirce bahwa simbol tidak dapat dilepaskan dari hubungannya  dengan objek yang menandakan sebuah hukum atau aturan yang sebenarnya. Biasanya sebuah kumpulan dari ide umum yang menjalankan sebagai penyebab simbol itu untuk ditafsirkan sebagai penghubung dengan objek. For pierce, a symbol is ‘a sign which refers to the object that it denotes by virtue of a law, usually an association of general ideas, which operates to cause the symbol to be interpreted as referring to that object’ (Charles Sanders Peirce in Chandler, 2002:38).
Menurut Carles S. Peice (dalam Budiman, 2011: 17) suatu tanda, atau representamen, merupakan sesuatu yang menggantikan sesuatu bagi seseorang dalam beberapa hal atau kapasitas. Ia tertuju kepada seseorang, artinya di dalam benak orang itu tercipta suatu tanda lain yang ekuivalen, atau mugkin suatu tanda yang terkembang. Tanda yang tercipta itu saya sebut sebagai interpretan  dari tanda yang pertama. Tanda menggantikan sesuatu, yaitu objek-nya, tidak dalam segala hal, melainkan dalam rujukannya pada sejumput gagasan, yang kadang saya sebut sebagai latar dari representamen. Berkaitan dengan uraian di atas, sebuah tanda atau representamen tidak mesti sesuatu yang kasat mata. Tradisi lisan ti pehe merupakan objek yang tak kasat mata, namun objek tersebut dapat menimbulkan suatu gagasan dati interpreternya.
Dalam hal ini Hoed (2001: 246) menegaskan bahwa simbol atau lambang adalah tanda yang hubungan representamen dengan objeknya didasari konvensi. Sehingga untuk menafsirkan simbol seseorang harus mampu memahami konvensi yang menjadi dasar budaya masyarakat terkait. Kemudian Endraswara (2003:65) menambahkan bahwa simbol merupakan tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan, bersifat arbitrer, dan sesuai dengan konvensi suatu lingkungan tertentu. Konvensi disebut juga sabagai perjanjian yang disepakati bersama dalam sebuah lingkup masyarakat. Misalnya, lampu berwarna merah yang merujuk pada obyek “larangan”. Hubungan antara “merah” dan “larangan” sifatnya konvensional, yakni berdasarkan kesepakatan dalam masyarakat yang bersangkutan atau secara akademis disebut konvensi sosial.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa simbol adalah tanda yang berupa atau yang dihasilkan dari kesepakatan masyarakat sosiat atau yang dikenal dengan istilah konvensi. Hadirnya simbol tersebut dibentuk oleh kebiasaan atau budaya masyarakat yang didasari oleh kesadaran sosial. Bertolak dari pandangan tersebut, maka simbol juga dapat hadir dalam karya sastra atau sastra lisan itu sendri, karena menurut Atmaja (1986:24) struktur dan isi karya seni itu adalah hal yang mengandung kode dan kesadaran sosial. Sastra lisan sebagai bagian dari seni juga tidak dapat dilepaskan dari simbol, terlebih sastra lisan diciptakan oleh masyarakat sebagai budaya daerah atau budaya bangsa yang di dalamnya mengandung identitas dari penciptanya.


Bentuk Simbol
Manusia sebagai makhluk sosial dan simbol merupakan dua yang tak terpisahkan. Untuk keberlangsungan-hidupnya manusia membutuhkan nilai sebagai landasan, patokan atau petujuk hidupnya. Sehingga, tradisi lisan ti pehe dalam hal ini dapat berupa uraian atau deskripsi yang dapat bermanfaat yang digunakan sebagai nilai sebagai mana disebutkan diatas. Berkaitan dengan pandangan tersebut Sugiarti dan Handayani (1999: 110) mengatakan bahwa kesadaran manusia akan nilai itu sebagai landasan kebudayaan di dalam pergulan hidup bersama. Sehingga nilai-nilai yang diinginkan menjadi sangat perlu untuk dikomunikasikan melalui bahasa.
Kehadiran simbol tersebut juga dapat dipengaruhi oleh kebutuhan penamaan pada benda ataupun kata tertentu yang selanjutnya dapat dimaknai secara filsafat. Selanjutnya menurut Hartoko dan Rahmanto (dalam Sobur 2013:157) pada dasarnya simbol dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:
1)      Simbol-simbol universal, berkaitan dengan arketipos, misalnya tidur sebagai lambang kematian.
2)      Simbol kultural yang dilatar belakangi oleh suatu kebudayaan tertentu, misalnya keris dalam kebudayaan Jawa.
3)      Simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam konteks keseluruhan karya seorang pengarang.
Bentuk simbol yang dijabarkan di atas masih mencakup bentuk simbol secara umum, yaitu sampai pada bentuk yang ditunjukan melalui tingkah laku. Lebih lanjut Poloma (1984:199) mengklasifikasikan objek sebagai sasaran pemberian simbol dalam tiga jenis yaitu: (a) objek fisik, (b) objek sosial, dan (c) objek abstrak. Penjabaran Poloma lebih dispesifikkan pada objek, karena dalam melihat bentuk simbol secara langsung merujuk kepada objek sebagai sasaran dari simbol yang dimaksud. Pertama objek fisik meliputi benda-benda ataupun makhluk hidup yang dapat dijadikan acuan. Kedua objek sosial meliputi kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sosial misalnya upacara adat sebagai simbol rasa syukur kepada pencipta. Ketiga objek abstrak yaitu meliputi larangan-larangan tertentu dalam kehidupan sehari-hari atau yang lebih dikenal dengan istilah takhayul atau mitos.
Sejalan dengan pembagian Poloma menurut Sobur (2013:156) pada umumnya bentuk simbol dalam masyarakat bersifat irasional, misalnya kerbau disimbolkan sebagai kekokohan. Mengacu dari simbol tersebut maka sampai saat ini masih ada orang yang menanam kepala kerbau sebelum sebuah gedung dibangun, konon demi keselamatan gedung itu. Selanjutnya warna putih merupakan lambang kesucian, lambang pada padi kemakmuran, dan gunung melambangkan pencapaian yang tinggi.
Berbagai bentuk simbol yang terdapat dalam masyarakat dibentuk oleh pemahaman yang tidak berdasarkan keilmiahan masyarakat itu sendiri. Di antara bentuk tersebut dapat berupa bentuk komunikasi secara langsung ataupun melalui benda-benda. Adapun dalam bentuk komunikasi yaitu dalam bentuk kata ataupun gerakan tubuh misalnya saat melambaikan tangan. Bentuk lainnya yaitu dalam bentuk benda-benda, misalnya keris, gunung, binatang, maupun bangunan ibadah (mesjid ataupun gereja).
Simbol-simbol yang terdapat pada komunikasi dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh konteks. Menurut Liliweri (2001:198) terdapat beberapa bentuk konteks yaitu: (1) konteks fisik, (2) konteks waktu, (3) konteks historis, (4) koteks psikologis, (5) konteks sosial dan budaya. Berikut penjabarannya. Pertama konteks fisik yaitu berkaitan dengan lokasi berlangsungnya suatu peristiwa, ada perbedaan cara berdialog para petani di tengah-tengah pertanian dengan petani di kantor pertanian. Kedua konteks waktu, misalnya ada istilah jam baik, hari baik, minggu baik, bulan baik, dan tahun baik. Ketiga konteks historis adalah keadaan yang pernah dialami oleh peserta komunikasi, pengalaman historis itu berpengaruh terhadap keadaan komunikasi. Keempat konteks psikologis, suasana kebatinan yang bersifat emosional misalnya perasaan suka ataupun duka. Kelima konteks sosial dan budaya adalah keadaan sosial, budaya, yang menjadi latar belakang komunikator dan komunikan serta tempat berlangsungnya komunikasi.
Berkaitan dengan konteks dalam komunikasi yang berlangsung juga membentuk simbol-simbol yang diyakini keberadaannya berdasarkan kepercayaan secara konvensional. Dalam hal ini Moedjiono (2011:18) menjabarkan lima macam bentuk simbol yang hadir dalam kehidupan sehari-hari yaitu:
1)        Simbol hewan (fauna) yaitu melambangkan keselamatan dan nasib baik. Simbol hewan juga dapat menggambarkan suatu keganasan dan juga simbol kekuasaan.
2)        Simbol tumbuhan (flora) yaitu melambangkan kesucian dan juga juga sebagai lambang sifat-sifat manusia.
3)        Simbol fenomena alam yaitu mencakup api sebagai simbol terang dan kemurnian, sedangkan matahari dan bulan melambangkan keadilan dan kekuatan yang luar biasa.
4)        Simbol warna yaitu mencakup warna merah sebagai simbol kegembiraan, keberuntungan, harapan, dan kebahagian. Warna hijau sebagai simbol keberuntungan, pertumbuhan, dan keabadian. Warna kuning sebagai simbol kekuatan dan kekuasaan. Warna hitam sebagai simbol keputusasaan dan kematian. Warna putih sebagai simbol kedukaan dan kesucian.
5)   Simbol manusia yaitu mencakup laki-laki sebagai simbol kekuasaan dan kekuatan. Wanita sebagai simbol cinta kasih.
Adanya simbol-simbol tersebut menandakan identitas dari masyarakat itu sendiri. Misalnya dalam tradisi lisan Ti pehejuga menerapkan atau terdapat poin-poin yang telah disebutkan di atas, seperti penggunanan simbol fauna, simbol alam dan lebih banyak menggambarkan kehidupan masyarakat dimana budaya atau kebudayaan itu berasa.
Fungsi Simbol
Sebagai kebutuhan dasar komunikasi dalam masyarakat memiliki peranan penting. Seperti yang dijelaskan Mulyana dan Rahmat, ed., (dalam Sobur, 2013:154) fungsi pembentukan simbol adalah satu di antara kegiatan-kegiatan dasar manusia, seperti makan, melihat, dan bergerak. Ini adalah proses fundamental dari pikiran dan berlangsung setiap waktu.
Sebagai bagian dari kebudayaan tradisi lisan ti pehe  merupakan bagian dari alat edukasi masyarakat pelaku kebudayaan tersebut. Sama halnya dengan kebudayaan, pendidikan adalah cara pembentukkan nilai-nilai. Sejalan dengan pendapat tersebut dalam hal ini Wiyani (2013:12) berpendapat bahwa pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Penegasaan dari pendapat di atas adalah pendidikan dapat diartikan sebagai proses pembentukan budaya dalam diri manusia karena menurut Linton (dalam Tilaar, 2002:8) budaya adalah dasar terbentuknya kepribadian manusia. Dari budaya dapat terbentuk identitas seseorang, identitas suatu masyarakat dan identitas suatu bangsa.
Makna Simbol
Makna simbol adalah suatu konsepsi, nilai, atau isi yang terkandung dalam sistem simbol baik verbal maupun non-verbal yang hanya dapat dipahami melalui pikiran dan perasaan.  Dharmojo (2005:40-41) mengklasifikasikan makna simbol dalam tiga konteks yaitu (a) makna simbol dalam konteks etika, (b) makna simbol dalam konteks estetika, (c) makna simbol dalam konteks filosofi. Berikut penjabarannya.
Pertama makna simbol dalam konteks etika adalah sebuah pranata prilaku seseorang atau sekelompok orang, yang tersusun dari sistem nilai atau norma yang diambil dari kesepakatan masyarakat tersebut. Makna simbol dalam konteks etika adalah simbol-simbol yang maknanya berkaitan dengan nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Kedua makna simbol dalam konteks estetika ditandai dengan keindahan yang memiliki karakteristik: (1) keindahan secara individual, (2) keindahan gagasan kreatif, dan (3) keindahan seni kolektif.
Ketiga makna simbol dalam konteks filosofi bahwa filsafat berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dengan menggunakan pendakatan filosofis seseorang akan dapat memberi makna terhadap sesuatu yang kita jumpai dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Makna simbol dalam konteks filosofi ditandai oleh makna yang mengandung sikap-sikap terhadap kehidupan dan lingkungan yang meliputi: (1) sikap kebersamaan, (2) sikap keterbukaan, (3) sikap kebijaksanaan, dan sikap kritis.
Semua unsur yang diklasifikasi merupakan unsur-unsur yang melekat kuat dalam kehidupan masyarakat. Melalui pemahaman dari unsur maka akan mempermudah dalam memaknai simbol pada objek yang dikaji, karena pengungkapan isi dalam karya sastra yang diciptakan oleh masyarakat tidak pernah terlepas dari unsur-unsur tersebut dalam berbagai bentuknya. Misalnya pada acuan pemaknaan yang berkaitan dengan etika sangat erat kaitannya dengan masyarakat. Alasan tersebut didasarkan kepada ciri khas kehidupan masyarakat berbudaya yang  tidak pernah terlepas dari etika-etika yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
 pada pemaknaan yang didasarkan pada konteks estetis mengarah pada dua unsur yaitu pada unsur kebudayaan masyarakat dan juga pada unsur keindahan dari gagasan kreatif pelantun pantun Bima. Terakhir pada konteks filosofi yaitu pada nilai yang terdapat pada masyarakat baik secara individu maupun hubungan antara individu yang satu dengan yang lainnya. Dari beberapa konteks tersebut membangun pemaknaan yang utuh pada tradisi lisan ti pehe  Bima.


           Metode
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena secara lengkap dan menyeluruh melalui pengumpulan data selengkap-lengkapnya. Subjek penelitian dalam hal ini yaitu masyarakat etnik Bima sebagai pemilik kebudayaan tradisi lisan ti pehe yang menjadi objek penelitian. Kaitannya dengan hal tersebut, maka peneliti harus memahami terlebih dahulu perilaku dan kebudayaan masyarakat etnik Bima sehingga peneliti mampu mengurai simbol-simbol yang terdapat dalam tradisi lisan ti pehe secara mendalam dan menyeluruh.
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan secara jelas tanpa adanya perlakuan terhadapan objek yang diteliti (Kountur, 2003:30). Dikatakan sebagai penelitian deskriptif karena penelitian ini merupakan usaha untuk menggambarkan simbol yang terkandung  dalam setiap kata atau kalimat pada tradisi lisan ti pehe yang dituturkan oleh masyarakat Bima. Dalam setiap isi tradisi lisan ti pehe yang dituturkan masyarakat Bima menggambarkan kondisi budaya dan cerminan masyarakat etnik Bima zaman dahulu yang dipakai sebagai pedoman atau norma-norma dalam kehidupannya.  Berdasarkan tuturan yang berupa simbol tersebut perlu dilakukan kajian yang mendalam dan perinci.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Pemilihan metode ini sesuai dengan sifat dan tujuannya, yaitu deskriptif. Tujuan penelitian deskriptif ialah mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2015: 53). Adapun langkah-langkah penggunaan metode deskriptif dalam penelitian ini yaitu pertama, peneliti mengklasifikasi data yang berkaitan dengan simbol. Kedua, peneliti mendeskripsikan data berupa simbol berdasarkan penggunaan simbol dalam tradisi lisan ti pehe. Ketiga, peneliti memberikan interpretasi terhadap simbol yang menjadi data penelitian. Melalui langkah-langkah tersebut, maka peneliti dapat secara objektif memperoleh hasil penelitian yang diinginkan.
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini ialah tuturan tradisi lisan masyarakat Bima dan data yang berasal dari penelitian terdahulu. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini mengacu pada tiga aspek yaitu bentuk simbol, fungsi simbol dan makna simbol. Ttentunya dari ketiga aspek tersebut memiliki penjavbarannya masinng-masing.

       Penutup
Pamali Bima adalah tradisi lisan yang memiliki manfaat bagi kehidupan sosial masyarakat Bima. Pamali Bima sebagai alat untuk membangun moral masyarakat khususnya Bima sangat penting untuk digallih apa saja yang terkandung didalamnya. Tradisi yang baik sangat tidak patut untuk dilupakan dan tidak diamalkan, karena tradisi lisan ti pehe adalah sebuah kekayaan budaya dan sebuah ciri khas daerah yang patut dilestarikan, terlebih kekayaan tersebut bermanfaat untuk  orang banyak. Dalam hal ini pemerintah daerah perlu memerhatikan tradisi tersebut, menjaga dan melestarikan budaya apapun yang dimiliki oleh Bima. Tidak lagi diamalkannya tradisi tersebut membuat akhir-akhir ini Bima menngalami degradasi moral. Sehingga, patutlah penelitian semacam ini perlu dilakkukan.

       Daftar Pustaka
Atmaja, Jiwa. 1986. Notasi Tentang Novel dan Semiotika Sastra. Ende: Nasa Indah.

Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif (Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

                              . 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.

Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonitas. Jalasutra: Yogyakarta.

Chandler, Daniel. 2002. Semiotics: The Basics. USA and Canada: Simultaneously Published.

Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia (Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain). PT Grafiti Pers.

Dharmojo. 2005. Sistem Simbol dalam Munaba Waropen Papua. Jakarta: Depdiknas.

Efendi, Mahmudi. 2007. Nilai Pendidikan Moral dalam Pamali Bima. Mataram: Depdiknas.

Emzir. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif (Analisis Data). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Hoed. H. Benny. 2001. Dari Logika Tuyul ke Erotisme. Jakarta: Yayasan Indonesiatera.

Mulkan, Dede. 2008. Pamali, Tradisi Lisan Leluhur Sunda. (Online), (http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20080907190015), diakses tanggal 19 April 2017.

Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset.

Moedjiono. 2011. (Modul, Vol. 11 No. 1 Januari 2011). Ragam Hias dan Warna Sebagai Simbol dalam Arsitektur Cina. Semarang.

Nurain, A. Nusi. 2013. Tahuli pada Upacara Adat Pulanga Masyarakat Gorontalo.(Online), (http://kim.ung.ac.id/index.php/KIMFSB/article/view/3214/3190), diakses tanggal 19 April 2017.

Ratna, Nyoman Kutha. 2015. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santosa, Puji. 1993.Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.

Sugiarti dan Handayani Trisakti. 1999. Kajian Kontemporer Ilmu Budaya Dasar. Malang: UMM Press.

Sudikan, Yuwana Setya. 2014. Metode Penelitian Sastra Lisan. Lamongan: CV Pustaka Ilalang Group.

Sobur, Alex. 2013. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tim Depdikbud NTB. 1994. Cerita Rakyat NTB. Edisi Kedua. Jakarta: Depdikbut

Zulfah & Juhriyansyah. 2012. Pamali Sebagai Nilai Tradisional Pencitraan Figur Masyarakat Banjar. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman.


Komentar