COLLECTIE TROPENMUSEUM Groepsfoto van de bewoners van Donggo-dorp in Soembawa Timor TMnr 10001096.jpg |
Pada sebuah desa tinggallah seorang ibu yang paling miskin dan melarat, yaitu Ina Hasan. Ia tinggal dengan seorang putra tunggalnya yang bernama Hasan. Sejak kecil Hasan sudah tidak dapat bergerak, bapaknya meninggal saat Hasan masih dalam kandungan. Ketika Hasan kira-kira berumur 10 tahun, telapak kakinya mulai kelihatan membengkak. Lama kelamaan, telapak kakinya itu menimbulkan mbonco, yaitu semacam bisul. Mulai saat itu, Ina Hasan merasa resah dan gelisah karena mengurus anak yang sakit dan harus mencari makan pula. Penyambung hidup setiap hari hanyalah dengan menjual anyam-anyaman. Setiap hari Ina Hasan menganyam tikar pandan. Sekali-sekali, Hasan membantu mengambilkan daun pandan walau dengan cara berjalan memaksakan diri. Lama kelamaan penyakit Hasan makin bertambah sehingga semua tetangga benci kepada mereka karena setiap saat Hasan selalu berteriak dan mengeluh kesakitan ketika bengkaknya semakin membesar dan berbau busuk.
Tatkala umur Hasan menginjak dewasa, penyakitnya semakin parah. Semua penduduk desa tidak suka kepada mereka. Dukun-dukun pun sudah mulai menjauh. Hasan mengharapkan ibunya agar memanggil gadis-gadis cantik untuk mengelus-elus dia. · Di desa itu, ada seorang gadis jelita yang termasyur kecantikannya sampai ke mana-mana. Gadis itu bernama Aminah, putri kepala kampung. Gadis itulah yang sangat diharapkan oleh Hasan. Dia menyuruh ibunya untuk memanggil Aminah. Betapa sedih perasaan ibu Hasan ketika Hasan menyuruh ibunya untuk memanggil Aminah. Katanya, "Bu, tolong panggilkan Aminah anak kepala desa (kampung) agar dia mau menjenguk saya". lbunya menangis dan mohon maaf kepada anaknya agar Hasan mengurungkan niatnya.
"Hasan Anakku, maafkan lbu. Ibu tidak berani menyampaikan maksudmu. Sungguh lbu merasa malu dan rendah diri, karena .... " katanya menangis. Tapi, Hasan, bersikeras. Malahan ibunya dibentak-bentak dan dipaksa agar mau memanggilkan Aminah. lbu Hasan tidak dapat mengelak akan permohonan anaknya. Ia terpaksa harus ke rumah kepala kampung untuk memohon izin kepada orang tua Aminah, agar Aminah mau menjenguk Hasan.
“Ibu dan Bapak kepala kampung yang mulia, maafkanlah hamba karena hamba datang membawa kabar berita yang tidak disangka. Bahwasanya anak saya Hasan sangat mengharapkan adiknya Aminah untuk datang menjenguknya walau sejenak”. Mendengar kata-kata itu, langsung bapak kepala kampung beserta ibu dan Aminah mengusir ibu Hasan cepat meninggalkan_ rumahnya. Hai setan tak tau malu! Tak rasa diri! Pergi engkau dari sini! Kalau tidak, akan kupenggal lehermu! Akhirnya, ibu Hasan cepat pulang dengan perasaan kesal sambil menangis.
Tiba di rumah, semua yang terjadi di rumah kepala kampung diceritakan kepada anaknya. Namun, Hasan kelihatannya semakin keras kemauannya. Malahan ia bertekad untuk meminang Aminah, anak kepala kampung itu. Dari hari ke hari, Hasan semakin dewasa dan keinginan Hasan semakin besar untuk berumah tangga. Oleh karena situasi dan keadaan Hasan dengan lbunya semakin memburuk maka kepala kampung dan pemuka-pemuka desa memutuskan untuk memindahkan tempat tinggal Ina Hasan beserta anaknya ke pinggiran desa. Di bawah pemimpin kepala kampung, masyarakat turut beramairamai gotong-royong mengangkut rumah Ina Hasan ke luar desa yang jaraknya lebih kurang 300 m dari desa. Perasaan Ina Hasan semakin risau dan gelisah, tetapi Hasan semakin besar semangatnya untuk melamar Aminah. Saat itulah ibunya dipaksa untuk melamarnya.
“Bu, tolong hari ini lbu datang ke rumah kepala kampung untuk melamar Aminah. Saya harus menyunting Aminah. Cepatlah lbu pergi!"
“Hasan Anakku, kasihanilah lbu sedikit Nak. lbu betul-betul malu dan tidak berani mengatakan hal semacam itu. Mana mungkin kita semelarat ini, kamu yang begitu jelek dan mempunyai cacad tubuh ingin meminang Aminah; tentu nanti dicaci maki oleh mereka." Namun, tampaknya Hasan tidak peduli. Akhirnya, ibu Hasan mengalah dan hari itu juga datang untuk melamar. Di rumah kepala kampung, ibu Hasan menyampaikan hal ihwalnya. Bukan senyuman dan tawaan yang dijumpai di sana, malahan caci maki dan kata..,kata yang belum pernah didengar selama ini. Rupanya sudah merupakan nasib ibu Hasan. Malah ibu Hasan dengan anaknya diancam dengan pembunuhan dan pembakaran rumah. Kini ibu Hasan kembali ke rumah dengan perasaan malu dan kesal yang amat dalam. Oleh karena Hasan merupakan anak satu-satunya, sebagai ·pendamping hidupnya, semuanya disampaikan pada anaknya. Bagaimana sikap Hasan? Kita dengarkan lebih lanjut.
"Bu, tak usah lbu malu dan kesal, pokoknya jangan ambil pusing. Aminah harus jadi istriku. Pokoknya, ibu harus melamar sampai tiga kali."
Mendengar kata-kata itu, ibunya langsung jatuh pingsan. Lama ia baru siuman, tetapi Hasan tidak merasa apa-apa. Setelah lamaran yang ketiga kalinya berjalan, hasilnya pun tak ubahnya seperti yang pertama dan kedua. Akhirnya, Hasan mengubah pola pikirnya.
"Bu, kalau ibu pergi ke pasar, to long belikan say a sehelai kain putih!"
Keesokan harinya, ibu Hasan pergi ke pasar membawa tikar untuk dijual. Di pasar, hampir ibu Hasan melupakan pesan anaknya, tetapi dibelikannya juga sehelai kain kafan putih. Sampai di rumah, Hasan merasa senang dan gembira karena pesanannya sudah dibelikan oleh ibunya. Tepat pada malam Jumat, Hasan berkata pada ibunya. "Bu, hari ini saya akan mengatur siasat, lbu diam saya di rumah dan menganyam, sedangkan saya akan bearada di atas pohon asam yang terletak di bagian atas desa kita."
Ibunya bertanya, "Lantas, apa yang kamu kerjakan di sana?" Dengan perasaan terharu ibu Hasan ingin cepat mengetahui apa yang akan dilakukan oleh anaknya. "Begini Bu, nanti Hasan berteriak di atas pohon, kalau orang yang datang katakan saja say a sedang sakit di dalam kamar."
Tepat pada tengah malam dan gelap gulita, pergilah Hasan memanjat pohon asam. Ia duduk di atas batang pohon asam sambil berselubung kain putih. Hasan dengan suara lantang berteriak. "Hai Bapak-bapak, lbu-ibu seluruh masyarakat penduduk desa ini, kawinkanlah Hasan Mbonco dengan Aminah, anak kepala kampung! Apa-bila tidak, bala dan bencana akan say a tuangkan dan limpahkan di desa ini!" Semua masyarakat terkejut mendengar suara yang begitu besar dan lantang. Akhirnya, masyarakat di desa itu bermusyawarah dan melaporkan kejadian itu kepada kepala kampung. Malam itu juga, kepala kampung mengumpulkan pemuka-pemukanya. Ia menyuruh orang yang agak bearani meninjau lebih dekat, apa gerangan yang terjadi di pohon itu. Berangkatlah seorang dukun terkenal dan melihat ke atas pohon. Dilihatnya satu persatu pohon di atas, ternyata ada satu bayangan putih yang sedang merontak-rontak dan menginstruksikan agar masyarakat kampung mau mengawinkan Hasan Mbonco dengan Aminah. Bagi masyarakat desa itu, pohon asam itu merupakan pohon yang keramat dan dianggap gaib. Pulanglah dukun ke rumah kepala kampung dan menceritakan peristiwa itu kepada masyarakatnya.
Begitu Hasan cepat turun dari pohon Asam itu dan pulang dukun itu kembali. Di rumahnya, Hasan tidur di pembaringan sambil berselubung kain putih. Hasan berpura-pura sakit dan menggigil. Di rumah kepala kampung, masyarakat berunding agar segera mengawinkan Hasan Mbonco dengan Aminah supaya ancaman itu tidak terjadi. Pada malam itu juga, kepala kampung mengutus beberapa pemuka desa, untuk segera menemui Hasan dan mengatakan kehendak kepala kampung mengawinkan anaknya. Tiba di rumah Hasan, mereka mengetuk pintu dan memohon kepada ibu Hasan untuk membuka pintunya karena mereka adalah utusan dari kepala kampung.
Hasan tetap saja tidak mau membukakan pintunya malahan bertambah-tambah rontaannya seperti kesakitan. Lalu utusan itu naik ke dalam rumah. Mereka bertanya, "Bu Hasan, kemana Hasan sekarang? Apa dia ada di rumah?" lbu Hasan berkata, Hasan berada di dalam kamar, dia lagi sakit. Apa maksud kalian datang ke sini?" Utusan itu berkata, "Kami diutus kepala kampung untuk menjemput Anak Hasan karena kepala kampung sudah merestui untuk mengawinkan Hasan dengan anaknya Aminah."
Hasan di kamar semakin menjerit di dalam kamar kesakitan. Kemudian utusan masuk menemui Hasan sambil berkata, "Hasan, bangunlah Nak, kami datang menjemput kamu untuk dinikahkan dengan Aminah anak kepala kampung. Hasan pura-pura tak mau dan berkata, "Tak mau ah. Saya tak pantas menjadi menantunya. Saya orang miskin lagi cacad." Hasan selalu merendahkan diri dengan bermacam-macam alasan. Utusan itu membujuk Hasan, tetapi Hasan belum mau menerima semua rayuan itu. Kini mereka kembali melaporkan hal itu kepada kepala kampung. Kepala kampung berkata, "Bagaimana akal kita, agar Hasan mau menikah?" Akhirnya diutusnya utusan sekali lagi. Ia berkata kepada Hasan, "Ayolah Hasan, maulah engkau menikah; kalau tidak akan berbahayalah kampung kita ini."
Mendengar perkataan utusan itu, Hasan berkata, "Maaf, saya tidak punya rumah. Kalau memang Aminah mau menikah dengan saya, suruh dahulu Aminah datang ke sini untuk menemuiku!" Dukun berkata, "Mereka gembira karena sudah ada lowongan dari Hasan. Mereka pulang untuk melaporkan hal itu kepada kepala kampung. Kepala kampung berkata, "Baiklah. kalau begitu Aminah dipanggil. Ayahnya menyuruh Aminah ke rumah Hasan bersama utusannya. Ayahnya berkata, "Katakan padanya bahwa saya sudah rela untuk menikahkannya dengan Kak Hasan."
Aminah menjawab, "Ya Ayah. Saya akan turuti semua perintah Ayah." Berangkatlah Aminah dengan rombongan ke rumah Hasan. Sesampai di rumah Hasan, Aminah berbincang-bincang dengan Hasan dan akhirnya Hasan mau ke rumah kepala kampung untuk menikah. Malam itu juga dilanjutkan pernikahan Hasan dengan Aminah dan kepada keduanya diserahkan sebuah rumah dan sepetak sawah. Kini tinggallah Hasan bersama Aminah serta ibu Hasan. Sejak saat itu, penyakit Hasan semakin hari semakin sembuh.
Pada suatu hari, Hasan berpesan kepada istrinya agar dibelikan mata kail untuk memancing ikan. Istrinya tak berkeberatan dan dibelikannya beberapa mata kail. Setelah itu, berangkatlah Hasan ke tempat pemancingan ikan. Ia memancing bukan di sungai, malahan pergi ke pasar membeli ikan. Sekembalinya di rumah, ia menceritakan pada istrinya bahwa ia memancing di sebuah lubuk yang cukup banyak ikannya. .. Akhirnya, oleh Aminah ikan itu sebagian diberikannya juga pada ayah dan ibunya. Lalu diceritakannya juga tentang pancingan suaminya. Mendengar hal itu, ayahnya tertarik dan menyiapkan juga alat-alat pancingnya.
Pada suatu hari, ayahnya pergi memancing ke lubuk yang diberitahukan anaknya. Di sana Hasan sudah berada terlebih dahulu dan bersembunyi di balik batu. Ketika ayah mertuanya melemparkan mata kail ke dalam sungai, Hasan langsung menyelam dan menarik mata kail ayahnya. Melihat pancingannya tertarik, kemudian ayahnya cepat-cepat menariknya keluar. Namun, ia tak mampu dan akhirnya saling tarik-menarik sehingga ayahnya jatuh ke dalam lubuk. Di dalam air itu, Hasan mengejar dan mencubit ayahnya sehingga ayahnya lari pontang-panting ketakutan karena ia baru merasakan ikan yang mau memakan manusia. Sampai di rumah diceritakan semuanya kepada istrinya dan anak-anaknya.
Kejadian itu diceritakan Aminah kepada suaminya kemudian Hasan tiba-tiba tertawa sinis, katanya, "Aminah, cuma sekian kepintaran dan kebolehan ayahmu; belum dapat menyaingi kepintaran aku. Bayangkan, sekarang ayahmu telah saya tipu. Bukan ikan yang menarik ayahmu, tetapis aya did alam air dan bersembunyi di balik batu. Kemudian kami saling tarik dan ayahmu jatuh ke lubuk. Saya kejar dan cubit ayahmu. Kemudian ayah lari ketakutan."
Aminah sangat prihatin mendengar pengakuan suaminya." Baik kalau begitu aku akan laporkan kepada ayahku. Semua diceritakan oleh Aminah yang didengar dari suaminya. Mendengar perkataan anaknya, akhirnya ayahnya ingin membalas perlakuan menantunya. Kata ayah Aminah, "Apabila Hasan pergi memancing beritahukan aku supaya aku dapat membalas perlakuan suamimu!" Pada suatu hari Hasan pergi memancing di tempat yang sama, dan ayahnya pun sudah lebih dahulu berada di sana, serta melakukan apa yang dilakukan Hasan. Hasan kelihatannya orang yang paling pintar. Pada saat saling tarik-menarik dengan ayahnya, ia menghentikan tarikannya, lalu mengambil batu dan melempar ikan di dalam air dengan bertubi-tubi, "lkan kurang ajar, ikan kurang ajar!" Ayahnya muncul tiba-tiba dan memohon maaf pada anaknya. Katanya, "Say a Nak, saya Nak, jangan dilempar! ". "Saya sangka ikan makanya saya lempar. Ayah, maafkan saya," kata Hasan. Akhimya mereka pulang dan saling menceritakan pada istrinya masing-masing.
Sumber: Sastra Lisan Donggo, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1998.
Sumber: Sastra Lisan Donggo, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1998.
Komentar
Posting Komentar