Ber-Ta’aruf dengan Donggo Melalui Sastra Lisannya

Gambar Uma Leme/Uma Ncuhi Donggo koleksi National Museum van
Werelduculturen-http://collectie.tropenmuseum.nl
Sebagai dowu Mbojo saya memang belum pernah menginjakkan kaki ke tanah ini, tanah yang kata orang didiami oleh orang asli suku Mbojo. Saya harap suatu waktu berkesempatan berkunjung ke tanah ini, dana Donggo. Donggo yang masih memiliki ciri khas tradisional menjadi daya tarik tersendiri. Untuk berkenalan dengan Donggo, hal pertama yanng harus diketahui adalah Kepercayaan dan adat-istiadatnya. Sebelum Islam menjamah dana Donggo (tanah Donggo), kepercayaan dowu Donggo (orang Donggo) yaitu memercayai banyak roh dan ada-istiadat lama. Terdiri dari lima macam adat istiadat lama yaitu pesta raju, adat kematian, adat perkawinan, penghidupan dan ekspresi.

Berbicara tentang roh, orang Donggo percaraya bahwa roh juga memiliki dua sisi yakni baik dan buruk atau jahat. Roh yang mereka sebut dewa tinggal di daratan seperti gunung, pohon, batu, laut dan matahari. Roh adalah penolong dikala sakit atau mengalami musibah. Dewa yang dipercayai oleh orang Donggo disebut Mbawa/waro dan parafu  adalah roh keluarga yang meninggal dari  beberapa generasi. Yang unik menurut saya dari kepercayaan mereka terhadap dewa adalah dewa-dewa yang mereka percaya memiliki spesialisasi atau tugas, seperti Dewa Wango (angin) dipuja pada waktu sakit dan umum terjadi dimusim penghujan. Kemudian Dewa Oi (dewa air) dan Dewa Langi (dewa langit).
Selanjutnya, untuk ber-ta’aruf dengan Donggo bisa dilihat dari cerita lisan atau sastra lisannya. Sebagaimana diketahui bahwa sastra lisan adalah bentuk lain yang menggambarkan masyarakatnya dan nilai-nilai sebagai pengontrol dalam bertingkah laku. Salah satu sastra lisan yang menarik adalah yang bertajuk sahe (Kerbau). Dalam cerita singkat ini kerbau diceritakan dapat berbicara dan manusia sebagai tuan yang mengembalanya. Kerbau adalah pembangkang yang tidak patuh pada perintah tuannya, akibatnya si kerbau dipukul oleh majikannya dan akhirnya si kerbau tidak lagi bisa berbicara. Cerita ini ingin mendidik orang Donnggo sebaigai manusia yang memiliki jiwa patuh dan taat terhadap perintah, baik terhadap orangtua, pemimpin, maupun kepada  Tuhan Yang Maha Esa.
Dilihat dari gambaran tokoh pengembala dalam cerita tersebut, bahwa orang Donggo ingin mendidik anak-anaknya agar menjadi pribadi yang memiliki disiplin tinggi. Disiplin dalam mengemban  tugas dan amanah, bertanggungjawab serta dapat dipercaya. Pelajaran untuk seorang pemimpi agar tetap adil, amanah, fatonah, tabliq dan siddiq. Tidak memandang berdasarkan miskin atau kaya, tinggi atau rendah yang namanya keadilah adalah sama rata. Tidak hanya bagi pemimpin, sebagai rakyat atau bawahan juga wajib mematuhi perintah raja atau atasannya untuk kebaikan bersama. Cita-cita Donggo ada dalam setiap tradisi atau adat-istiadatnya. Semoga setiap cita-cita yang menjadi pesan tersirat para pendahulu bisa digalakkan, baik oleh dou Donggo secara khusus maupun dou Mbojo secara luas.
Lalu saya membaca ssebuah mantra, dikatakan mantra pengiring atau pelepasan atau dipindahkannya Istana/pusat pemerintahan Kerajaan Bima ke tempat lain,
“marakui ma tebe
Sara’a petugas istana
Rabi fo’o hengga layar
Loaku roci ronggo di tujuan
Ro’ona ma wati nci’i”
Bahasa Bima dialek Donggo, saya tidak paham arti atau makna mantra ini. Sangat unik sebagai pengetahuan, bahwa Istana Kerajaan Bima pernah dipindah dari Donggo yaitu Istana yang segi empat menuju ke Bima. 

Buku bacaan: Sastra Lisan Donggo (1998) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 

Komentar