Bagi saya, Mbojo adalah cerminan daerah yang punya adat-istihadat, kebudayaan, sopan-santun, toleran, keramah-tamahan, kejujuran, mbolo ro dampa, maja labo dahu, ngaha aina ngoho, katada rawi ma tedi, dan banyak hal yang akan tersingkap jika kita berbicara tentang Mbojo.
Bertolak dari hal-hal yang tersebut diatas, Mbojo kini memiliki sisi gelap bahkan sisi paling gelap. Seperti lilin yang menyala namun tak bisa menerangi seluruh. Keutamaan (ahklak) yang telah dipatok oleh para pendahulu seakan terkubur seperti fosil yang tertanam ribuan tahun lamanya. Jiwa-jiwa baru yang hidup terasa mati, berbicara kebaikan hanya sebagai kedok yang berhak mengadili dan mengampuni, sudah seperti Tuhan sahaja. Di Mbojo telah lahir fir'aun-fir'aun baru yang siap melumat sebuah peradaban (Mbojo).
Para pemuda oleh zaman telah dididik dan telah dipatenkan dalam benak mereka tentang hidup adalah persaingan. Siapa cepat dia dapat, siapa lemah dia tereliminasi. Banyak dari Mbojo yang telah bergeser, lantas dibagianmanakah Mbojo yang masih tersisa? Jawabannya adalah kompak. Namun sebuah kebersamaan ini tidak hanya dipandang pada satu sisi kebaikan. Kekompakan yang tak memandang baik dan buruk sebagai dua yang berbeda, bahkan sekalipun itu tentang menghakimi dan membunuh.
Sejenak kita kembali pada zaman dimana semua masih aman-aman saja, baik-baik saja dan elok-elok saja, tanpa huru-hara, tanpa segala macam permasalahan yang sedang menimpa sa'at ini. Disetiap surau masih terdengar bacaan-bacaan, disetiap rumah masih terdengar alunan-alunan, lantunan-lantunan, tak ada hiruk pikuk ketika menjelang malam, rasanya begitu damai. Pada masa ini nilai-nilai dan norma-norma masih ditegakkan, masih menjadi acuan dalam kehidupan Dou Mbojo. Saya rindu masa itu.
Kini kedok baru mulai bermunculan, berbicara hak namun merenggut hak, berbicara baik tapi berperilaku bejat, itulah gambaran yang sedang tersketsa saat ini. Begitu rapuh, arogan, serakah, dan segala macam tabiat buruk yang melekat. Lantas pada siapa kita harus berharap? Memang hanya Tuhan yang dapat menolong Mbojo pada situasi ini.
Cara terbaik ialah kita kembali pada budaya dan kebudayaan kita, adat-istihadat kita, norma-norma terdahulu, kebiasaan-kebiasaan yang telah terlupa harus kita ingat kembali. Sepatutnya itulah yang kita lakukan.
Dou Mbojo ma ngau ededu ma mawo nawa
Dou Mbojo ma taho ededu ma renta fatiha
Dou Mbojo ma ntika ededu ma taho tabe'a
Ma na'e eli pala na wancuku ngame ro alun
Ma busi nawa bune macina oi niwa.
Mari kita tegakkan nilai-nilai kebajikan dan meninggalkan kemungkaran sebagai mana yang telah diamanatkan oleh pendahulu-pendahulu Mbojo terdahulu. Tinggalkan mabuk-mabukan, obat-obatan terlarang, dan hal buruk lainnya yang membahayakan generasi Mbojo. Dou Mbojo adalah Dou yang memiliki semboyan MBOLO RO DAMPA yang mengedepankan musyawarah mufakat.
Mbojo adalah kita yang bersatu dalam kebaikan, bergandeng tangan dalam membantu sesama, menghargai orang lain, religius, dan yang paling penting adalah berbudaya. Alangkah beruntung kita yang dilahirkan di tanah ini, tanah yang disebut "Mbari".
Malang, 26 Desember 2016
Komentar
Posting Komentar