Senja dan Senarnya



            Aku didalam sini, didalam sebuah Caffe milik orangtuaku, aku hanya duduk sambil mengamati yang terjadi diluar sana. Diluar hujan begitu deras, makanya aku memilih hanya diam didalam sini. Tidak seperti waktu kecil dulu, ketika hujan turun dan aku langsung menyambutnya dengan berlari-larian bersama rekan sejawat. Sambil mereka berkata “Jangan memakai pakaian yang berwarna merah nanti disambar petir” begitula sebuah tradisi kecil yang di lisankan secara turun temurun oleh para orangtua kepada anak-anaknya. Entah apa arti atau fungsi dari petuah itu sampai sekarang aku masih dibuat bingung. Tiba-tiba muncul seseorang diluar sana, didepan Caffe ini. Sepertinya dia hanya berteduh. “kenapa  tidak langsung masuk saja? Daripada basah dan kedinginan diluar sana?” peluhku didalam sini.
            Aku hanya memerhatinya, dengan rambut yang diulurkan kedepan, kupluk berwarna hitam, sambil dia menenteng sebuah gitar dipundaknya. Pastinya dia seorang wanita. Penampilannya seperti anak Band. Tiba-tiba aku punya inisiatif untuk menghampirinya.”kenapa tidak aku hampiri dan menawarkan untuk mampir sebentar menunggu hujan reda?” tidak menunggu lama, aku langsung menghampirinya.
“Hai….” Lagi-lagi kata ini yang utama muncul. “Kenapa nggak masuk aja dulu, sambil menunggu hujan redah? lagian hujan masih sangat deras” tawarku.
“Tidak apa, sebentar lagi redah” jawabnya sambil tersenyum.
“Tidak apa….ayo masuk. Aku ambilkan handuk untuk mengeringkan badanmu”. Kutinggal dia sebentar.
“Ia, terima kasih”. Aku hanya membalas dengan senyum.
Ku suguhkan ia secangkir  kopi dan sambil bercakap ringan. “Itu Gitar kesayanganmu?” tanyaku. “Dari mana kamu tahu?” sambil ia meraih gitar itu. “Kalau bukan gitar kesayangan, mana ada orang yang rela berbasah-basahan kalau hanya untuk memberikan jaketnya untuk melindungi gitarnya?”. Dia hanya tertawa ringan sambil meraih dan menyeruput secangkir kopi itu. Tanpa ditanya aku langsung berkata, “dari kecil aku sangat ingin bisa bermain gitar, tapi keinginan itu sampai sekarang masih terabaikan.” Dia bernama Senja, yang setiap sore selalu setia dengan warna merah jingganya. Ia bekerja di salah satu Caffe yang tidak begitu jauh dari sini. Bersama Band-nya, itulah Senja.
Tidak terasa hujan telah redah dan percakapan kami begitu akrab seperti orang yang sudah dekat dan kenal lama. Padahal baru beberapa jam berlalu. Ia menawarkan untuk mengajariku belajar main gitar dan ia berjanji akan datang dan akan mengajariku. Di antara kami memang baru kenal beberapa jam tapi, entah kenapa ada sesuatu yang membuat kami merasa nyaman dan begitu dekat. Itulah kuasa yang maha kuasa, memberikan sesuatu yang tanpa bisa kita terka, tanpa bisa kita sadari sebelumnya. Apakah ini yang namanya jodoh? Ia pun pamit dan sambil berkata “terima kasih atas jamuan dari pangeran, terima kasih untuk secangkir kopi dan sehelai handuk yang membuat hangat tadi” tanpa melirih lagi kebelakang ia berlalu dengan motornya.
Pagi ini begitu cerah, secerah hidup ini yang memimpikan Senja tadi malam. Pagi ini pula aku sudah berada di Caffe ini untuk bantu-bantu karena orangtua ku sedang keluar kota. Di depan pintu sana tampak wajah yang sangat familiar. Yah dia Senja. Ternyata dia menepati janjinya, pagi ini dia datang. Kami seharian belajar bermain gitar dan bahkan setiap hari. Kemarin kami baru bertemu, di pertemukan oleh derasnya hujan, secangkir kopi yang menyimpan bekas merah dari bibirnya. Tapi masa itu sudah lampau karena waktu, waktu begitu cepat berlalu. Itulah kata yang dapat menggambarkan keadaan sekarang, bahwa kami sekarang dan bukan yang lampau, kami adalah pasangan. (Herankan..??? kok udah jadian aja? Kaapan nembaknya? Pasti kalian bertanya seperti itu? Itulah waktu, waktu bisa berbuat  apa saja, termasuk menjadikan mereka pasangan serasi) ok lanjut.
Suatu waktu Senja mengajakku untuk ke suatu tempat. Suatu tempat yang membuatnya menemukan banyak inspirasi untuk lirik lagunya, tempat yang membuatnya merasa damai dan nyaman. Diatas bukit inilah ia mengajakku. Tempat yang indah, apa lagi ada pemandangan pantai dibawahnya. “Kamu adalah orang kedua yang aku ajak ke sini dan yang terakhir ku ajak menikmati keindahan ini”. Tiap harinya kami banyak menghabiskan waktu disini. Begitulah hari-hariku bersama Senja. Sabtu malam nanti kami ada janjian, disuatu tempat dimana ia ingin mengutarakan perasaannya waktu itu. Dan aku menjawab “Hati ini sudah terlebih dahulu tahu apa yang ingin kamu katakan, tidak perlu kamu utarakan karena masing-masing hati kita tahu kita saling mencintai”.
Aku sudah berada ditempat kami janjian dan bahkan aku lebih awal dari waktu yang ditentukan. Sudah bebera jam berlalu dari waktu yang disepakati, aku langsung menelponnya dan hasilnya nihil tidak diangkat. Tiba-tiba ada panggilan masuk, aku perlahan mengankat telpon itu, terdengar dari seberang sana Senja mengalami kecelakaan. Tanpa basa-basi lagi aku langsung menuju rumah sakit tempat Senja dibawa. Ternyata ia sudah tidak bisa terselamatkan lagi, ia mengalami pendarahan hebat di otaknya, akibat kekurangan darah yang banyak ia meninggal. Itulah akhir dari kami. Akhir yang tidak bahagia.
Senar-senar berbunyi berdasarkan irama masing-masing, petik demi petikan telah  di lalui. Tapi hasil yang di inginkan, bunyi yang satu, yang di harapkan telah usai. Hanya ada kunci minor, dan lainnya yang tak padu mencipta irama. Kini senja hanya tinggal senar. Hanya tinggal nama SENJA DAN SENARNYA.
Nabil Agus M
Malang, 18 oktober 2014  2:36 pm

Komentar