Kenangan Bersama Sang Nenek

Ilustrasi Gambar: Pixabay.com


INNAALILLAHI
Di ufuk timur Matahari seakan mengajak menari, cerah dengan warna kuning khas-nya. Bocah-bocah kampung sangat bising, bising karena sibuk mempersiapkan diri untuk bersekolah. Termasuk Aku. Hari yang indah untuk memulai pelajaran. Sekarang aku duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar di SD Negeri Inpres 2 Lanta, Bima, Nusa Tenggara Barat. Lingkungan sekolah yang sederhana, namun menyimpan segala kesenangan. Semester satu telah usai, tiba saatnya para murid mengetahui hasil belajar mereka dan aku mendapat peringkat ke-3. “Yah cukuplah, daripada tidak sama sekali” kataku dalam hati.
Aku lahir dari sepasang suami istri sederhana sebagi anak kedua dan sekarang menjadi anak sulung, karena kakak perempuanku meninggal. Sejak kecil aku besar dan di besarkan oleh seorang nenek. Dia bernama Jawariah. Seperti anak-anak kebanyakan aku selalu mengikuti dimana ibu mereka akan pergi, begitu pun aku. Ke pasar, sawah, berjualan, dan masih banyak lagi, dimana ia berada disitulah aku ada. Hidup ku bergelimang akan kasih sayang, bukan dari orangtuaku tapi melainkan sang nenek. Dikasur sempit itulah kami meletak dan membaringkan tubuh kami kala lelah dan kantuk merasuk. Aku ibarat pakaian yang tak akan lepas dari tubuhnya. Aku di didik dengan ilmu agama walaupun sangat terbatas hanya mengaji dan sholat.
Aku termasuk anak yang pendiam, tidak banyak bergaul. Setiap siang sepulang sekolah aku mengenakan sarung dengan peci diatas kepalaku. Yah..setiap siang sepulang sekolah aku belajar membaca Al-Qur’an. Seorang ayah dari nenek ku yang biasa ku panggil WARO*, dialah guru yang mengajariku membaca Al-Qur’an. Suatu ketika di siang yang  begitu membuat gerah, aku sedang membaca Al-Qur’an dan diwaktu itu pula mata ini seakan memikul beban 100 kg. rasanya ngantuk, ingin tidur. Tiba-tiba suara keras menggelegar bak petir menyambar, aku di bentak “bangu..n” dengan sangat terkaget-kaget aku melanjutkan membaca walau dengan kantuk yang melanda aku tetap memaksakannya. (dari pada di bentak mending lanjutkan).
Ternyata kantuk itu tidak mau lagi diajak kompromi, dia tetap saja. Tak disangka telapak tangan melayang di pipi bagian kiri. Sakit. (sakitnya tuh di sini, nunjuk pipi) isak pun tak bisa terelakkan lagi, perlahan air mata berderai. Sambil melanjutkan membaca lagi aku dinasehati. Yah beginilah cara mengajar orang-orang zaman dahulu, nggak main-main sekali melenceng tangan melayang. Untung aku hidup bukan di zaman mereka, kalau tidak aku mungkin hanya tinggal nama. Kala itu aku terbilang sangat dimanjakan. Apapun yang aku inginkan akan terkabulkan. Karena harapan dan keinginanku hanya hal-hal yang sederhana, sesuai dengan keadaan. Tidak pernah aku meninta hal-hal yang sangat tidak mungkin mereka lakukan, aku cukup tahu diri.
Begitulah keseharianku. Selang beberapa bulan sang nenek jatuh sakit, itu membuatku drop dalam hal prestasi belajar. Bagaimana tidak? Seorang yang selalu ada disampingku, memberi, merawat, dan menyediakan segala sesuatu untuk ku kini terbaring tak berdaya dipembaringan. Aku tak terurus. Entah penyakit apa yang ia idap sampai sekarang  aku tak tahu. Ia beberapa kali di rujuk ke rumah sakit, namun hasilnya tak membahagiakan, hanya beberapa waktu, penyakit itu kambuh. Ia kembali terbaring tak berdaya. Semua anak dan cucunya, setiapa hari mengunjungi dan merawatnya. Di suatu siang aku pergi belajar kelompok di rumah rekanku, kami mengerjakan tugas matematika. Ada banyak keasikan kala itu. Waktu sudah sore, pekerjaan atau tugas pun sudah selesai. Waktunya pulang. Jarak rumahku dan rumah rekanku tidak begitu jauh hanya beberapa puluh meter.
Aku berjalan begitu santai, tidak terburu-buru. Karena tidak ada permainan yang mengasikkan hari ini. Aku tiba, terlihat banyak sendal di bawah tangga. “oh, mungkin hanya orang atau kerabat yang menjenguk nenek” pikirku dalam hati. Perlahan anak tangga demi anak tangga aku pijak dan tiba ditangga paling atas, aku melihat seorang yang sedang dikelilingi sedang menghembuskan nafas terakhirnya. Begitu jelas terlihat, mulut yang menggaga, seperti orang yang sok melihat sesuatu yang begitu menakutkan. Ia meninggal. Aku hanya duduk di samping jasadnya, dengan air mata yang selalu menggenang di pelupuk sembari dengan rengek-an. Kini ia siap memasuki liang-nya. Kami tak akan lagi bisa bersama-sama, tak bisa lagi bagun bersama di setiap subuh untuk membuatkan teh untuk WARO, tak lagi bisa sholat subuh bersama. Selamat tinggal Nek, selamat jalan, bahagialah engkau di surga.
Ina ro wa’I ma taki ngari wea wa’e
Na wa’ura mbora di dana ma mbari
Wati du wara ma sa ra’u ra ma mbei ru’u
Wa’ura lao impi dou ma taki ce’I ampe
Oi mada na mboho kawara si mbuhu
Ade da loaku ka’ao ngge’e mpa ka io
Ede ndi raho ai nai ede wi’I paki na riha
Ba uri wa’I ro ana ra osa weana onu
Hampa ba loaku samada ina ro wa’iku ma made.
Itulah akhirku bersama nenek, hanya tinggal aku dan WARO. Sekarang aku kembali ke orangtuaku, tinggal bersama mereka. Begitu sulit menyesuaikan diri, untuk memanggil mereka dengan sebutan Ayah dan Ibu. Selang beberapa bulan kepergian sang nenek, WARO menyusul. Ia meninggal, kembali tangisan yang seperti beberapa bulan yang lalu. Sekarang aku utuh milik ayah dan ibuku. Dan seiring berjalannya waktu aku sudah bisa memanggil mereka “ayah…ibu…(ama…ina…)”

Komentar