LAGI-LAGI GADIS SENJA

--Nabil Agus M--
Jalanan tampak begitu ramai dan bising. Kendaraan berlalu-lalang dengan polusi suara yang sangat tinggi membuat telinga ingin libur atau ambil cuti karena saking berisikya. Kala itu Adzan Dzuhur sedang berkumandang. Aku baru saja keluar dari salah satu swalayan di daerah Tlogomas Malang, seusai berbelanja keperluan dapur. Aku mengambil langkah kecil meninggalakan swalayan itu sambil menenteng barang belanjaanku. Ku tengok kiri dan kanan untuk memastikan ada sela untuk menyebrangi jalanan.
Di seberang sana terlihat sosok yang tidak asing lagi bagiku, sosok yang sangat familiar. Yah..dia gadis Senja. Tampak rautnya begitu kusam dan menyimpan seribu kegelisahan. Disela jalanan yang begitu padat, aku tetap memerhatinya sampai-sampai aku tak hirau bahwa aku telah membuat jalanan macet. Suara klakson riuh dan bising. Sadar dengan apa yang terjadi aku aku mengambil langkah cepat berjalan menuju jalan sebrang. Dalam hati ku berkata “untung tak ada supir yang nekat, kalau nggak gimana jadinya nasibku, aku kan belum nikah?”
Si gadis Senja masih tetap setia disana, entah apa yang ia tunggu aku tak tahu. Sejenak aku mengumpulkan segenap keberanianku untuk menyapa dan mendekatinya. Dengan langkah yang seakan membawa beban seratus kilo dipundak, aku berusaha tetap mendekatinya. Dan akhirnya aku mendekatinya, aku berada di sampingnya. “Wadduh kok rasanya begini.??” Keluhku dalam hati. Rupanya ia belum sadar dengan keberadanku disampingnya, mungkin karena kegelisahannya. Sehingga ia tak lagi mau menghiraukan segala yang ada disekitarnya.
Tiba-tiba aku kehilangan semua kata dalam otakku, saat itu aku ibarat seorang bayi yang baru dilahirkan ke dunia, begitu suci. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku katakan untuk menyapanya. Kosong tak ada ide sama sekali. Mungkin itu karena Senja ini begitu berbeda dengan senja-senja yang lain. Ia begitu unik beda dari yang lain. Lagi, aku mengumpulkan keberanianku…..dan sontak keluar kata..
“Hai.……,” dengan nada suara yang kaku. Untuk memastikan bahwa dia adalah si gadis Senja, aku mencoba bertanya. “apakah kau Cakra, yang selalu setia pada bus kuning dan selalu duduk dibangku baris kedua??” hanya untuk memastikan sih, walaupun aku yakin seratus persen memang itu benar-benar dia. Ia tak menjawab apa-apa, hanya senyum yang ia lemparkan. Dalam hati aku berkata “senyum ini begitu indah, mungkin ini yang membuatku takkan bosan dan tak bisa melupakannya. Tulus, tak ada sedikit pun kebohongan didalamnya” sejenak kami terdiam. Lalu dan lagi aku mencercanya dengan pertanyaan-pertanyaan lain, yang mungkin menurutnya tidak ada kerjaan.
Tiba-tiba, sebuah motor gede menghampirinya. Tampak dari balik helm seorang lelaki dengan raut wajah yang tak menyenangkan. Ia memandangiku, dan aku membalasnya dengan sebuah senyuman walau nggak manis tapi tuluslah. Hahaha…lanjut. Tanpa mengatakan sepatah katapun ia langsung menaiki kuda besar yang ditunggani lelaki itu, lagi-lagi gadis Senja hanya melempar senyum manis nan indahnya. Gas yang ditarik kencang dengan suara kencang, mebuat serangga yang melewatinya bisa-bisa tak sadarkan diri. Mereka berlalu.
Aku hanya bisa menyaksikannya sampai mereka tak tampak lagi. Yah begitulah gadis Senja itu, hanya datang dengan senyum tanpa mengeluarkan kata apapun dari bibir manisnya dan berlalu dengan senyuman pula. Begitulah, kadang yang maya tetap harus kita biarkan maya walau kita berharap ia kan menjadi nyata. Senja itu sudah berakhir walau masih ada harapan untuk esok yang tak mampu kita tebak karena kita berebut dengan mendung. Kali ini senja sudah tenang dengan datangnya malam, yang selalu menjemputnya kala ia sudah bosan duduk diperaduan itu. Pantasnya memang ia menjadi imajinasiku, mayaku, sekarang dan selamanya.
Malang, 29 September 2014.

KUTINGGAL SENJA?
--Nabil Agus M--
Malam ini tampak mendung, tak ada satu bintang pun. Hanya ada gulungan awan hitam yang ingin memecah gundah hati mereka yang berbahagia yang sedang menikmati malam. Dan aku hanya ditemani si merah ia memiliki keterbelakangan mental ia Bisu, dia Hp ku. Malam ini malam minggu, suatu malam yang indah bagi mereka yang punya pasangan. Tiba-tiba suara gemuruh berbenturan diatas sana dan tanpa menghiraukan keadaan ia memuntahkan air matanya. Tentu saja keadaan ini membuat mereka yang berpasangan seakan mengutuk hujan ini. Bagiku, ini hal biasa untuk ku yang hanya punya senja. Aku menyaksikan dibalik kaca sebuah warung kopi, mereka yang sedang berlari untuk berteduh. Ku lihat satu pasangan yang sedang lari dan sang lelaki memberikan jaketnya pada sang wanita agar ia tak kedinginan, pemandangan yang begitu indah. Aku tersenyum.
Sedangkan aku, hanya di temani si merah gagu dan laptopku. Aku biasa melepas penat disalah satu warung kopi diatas kota jika aku merasa suntuk berada di rumah. Pemandangan yang sangat indah dari atas ketinggian. Semua bisa kita lihat, lampu yang berkelap kelip, kendaraan yang mondarmandir seakan tak ada hentinya. Warung itu juga menyediakan Wifi gratis. Aku membuka laptopku, tak ada kerjaan yang harus dilakukan aku membuka jendela Mozila aku mengetikkan alamat web pada panel browsernya, ku ejakan satu demi satu .. f ..a ..c ..e ..b ..o ..o ..k, JREEEENG…. Muncul nama yang kukenal, Senja. Yah facebook itu belum ku logout.
Seperti biasa tak ada yang begitu special, tiba-tiba keluar suara khas yang menandakan nada pesan masuk. Kulihat itu dari seorang lelaki, Ku tarik kursorku kebawah perlahan menuju pojok kanan bawah. Dan ku klik dan apa yang terjadi sontak ku melihat beberapa percakapan yang tidak sepeti bisanya oleh para lelaki iseng yang kurang kerjaan. Tapi kali ini berbeda, berbeda pada biasanya. Dengan hati-hati aku gerakkan tikusku perkahan keatas, untuk menelusuri isi percakapan tersebut mulai dari awal.
Awalnya memang biasa saja, mulai pertengahan itu semua sudah terlihat ganjil. Ketika seorang lelaki itu menanyakan tentang pacarnya, tentang hubungannya. Apakah dia sudah punya pacar atau tidak? Rencananya, si lelaki itu tertari terhadap Senja dan ia melucutinya dengan pertanyaan-pertnayaan yang nggak mutu. Awalnya aku biasa saja, ia menjawab ia sudah ada yang punya. hatiku legga’. Tapi, lelaki itu ngotot, ia berharap dan bersedia menjadi yang kedua, di duain apalah istilahnya. Yang membuat ku tak habis pikir, tercengang-cengang,  ketika si lelaki menanyakan siapa dan berasal dari mana pacarnya, ia menjawab entang “Dia berasal dari daerah M” berharap aku yang ia sebut. Ternyata ada yang lain selain diriku, ada yang lebih baik dariku. Sejak itu jantungku seakan ingin lari, seperti gedebug bedug usai sholat Id. Begitulah rasanya.
Senja itu memang benar-benar tak akan lagi menawarkan warna merah jingganya padaku. Dia sudah di miliki malam. Haruskah aku melepas rela Senja itu atau aku yang hanya terlalu memaknai lebih apa yang aku lihat? Mungkin Senja hanya menjawab ngawur dan sekeluarnya? Entahlah, sekarang aku tak ingin memikirkan itu. Selamat tinggal Senjaku, selamat tinggal mayaku, dan selamat tinggal nyataku, selamanya.
Malang, 29 September 2014.

Komentar